Senin, 10 Maret 2008

LEBIH DARI SEKEDAR LELUCON

Meneliti masalah yang dianggap tidak serius, seperti halnya humor, oleh masyarakat umum tentunya akan sangat menarik. Humor selama ini identik dengan tawa dan lelucon, maka wajar jika masyarakat menganggap humor sebagai lelucon semata. Tidak salah menganggap humor sebagai lelucon, hanya saja jika mau melihat lebih dalam, humor mempunyai dimensi yang dapat dikaji dengan serius. Sebagaimana Arwah Setiawan[1] mengatakan “humor itu serius”. Banyak hal menarik yang bisa dikaji dalam dunia humor ini. Jadi sangat disayangkan jika di negara yang termasuk subur tradisi humornya ini, masih sangat sedikit buku-buku yang membahas tentang humor. Kebanyakan, buku humor yang ada hanya berisi tentang kelucuan itu sendiri, bukan dimensi serius yang ditampilkan.

Seni humor sepanjang perjalanannya telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di Indonesia pun demikian, perkembangan humor terbilang luar biasa. Media massa terutama televisi merupakan aktor dibalik perkembangan itu. Televisilah yang menjadi kawah candradimuka bagi perkembangan humor di tanah air. Kemajuan teknologi komunikasi yang disertai dengan menjamurnya televisi swasta di Indonesia ternyata berkolerasi positif dengan semakin berkembangnya genre humor di tanah air. Salah satu genre humor yang sekiranya menarik untuk diamati adalah humor politik. Perkembangan dunia politik lengkap dengan gonjang-ganjingnya menawarkan sejumlah kelucuan yang dapat dieksplorasi dalam suatu pertunjukan humor. Apalagi setelah reformasi[2] bergulir, seniman humor lebih bebas berkreasi dan mengeksplorasi lebih dalam kelucuan-kelucuan yang terjadi dalam dunia politik kita. Untuk itu dirasa perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui perkembangan humor politik dalam industri televisi di Indonesia pasca reformasi.

Kehadiran televisi disadari atau tidak, telah membawa banyak sekali perubahan dalam kehidupan manusia. Daya tariknya yang sedemikian besar mampu mengubah pola-pola kehidupan rutinitas masyarakat kita. Televisi telah menjelma menjadi agama baru bagi masyarakat. Dampaknya masyarakat menjadi sangat tergantung dengan televisi. Tidak menonton televisi, sama saja dengan makhluk buta yang hidup dalam tempurung (Kuswandi, 1996:23). Dari hari kehari masyarakat kita semakin tidak bisa lepas dari televisi. Hal tersebut mendorong masyarakat untuk berbondong-bondong menghadirkan televisi dalam rumah-rumah mereka. Tanpa disadari, saat ini televisi tidak lagi menjadi barang mewah, melainkan sudah menjadi kebutuhan pokok yang kehadirannya selalu ditunggu.

Pada perkembangan selanjutnya, media televisi menjadi alat atau sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia, baik untuk kepentingan politik maupun perdagangan, bahkan melakukan perubahan ideologi serta tatanan nilai budaya manusia yang sudah ada sejak lama (Kuswandi, 1996:23). Kekuatan media televisi memikat banyak pihak, termasuk dari kalangan pelawak/komedian[3] untuk menghadirkan hiburan segar kepada masyarakat. Karena salah satu fungsi televisi menurut Charles Wright adalah fungsi yang lebih bersifat human interest. Hal tersebut dimaksudkan agar pemirsa tidak jenuh dengan berbagai isi pesan yang disajikan televisi, selain itu fungsi hiburan juga berfungsi sebagai sarana pelarian (‘escapisme’) pemirsa/khalayak sasaran terhadap satu masalah. Dalam hal ini masalah yang sekiranya memberatkan masyarakat kita adalah masalah politik. Karena bagaimanapun juga masalah yang melanda dunia perpolitikan nasional berimbas pada kehidupan berbangsa dan bernegara secara luas, termasuk dalam kehidupan bermasyarakat.

Dunia politik adalah dunia kejam yang selalu diwarnai dengan trik dan intrik dari masing-masing insan pelakunya. Kehidupan bangsa ini baik pada level institusi maupun pada level masyarakat sedikit banyak dipengaruhi oleh manuver-manuver yang dilakukan oleh para elit politik kita. Kondisi bangsa yang semakin tidak menentu membuat masyarakat mulai apatis, antipati terhadap politik. Padahal, untuk memperbaiki sistem perpolitikan di Indonesia, termasuk perbaikan kondisi bangsa, peran serta masyarakat sangatlah dibutuhkan. Jika masyarakat semakin lama semakin menjauh dari kehidupan politik di negara ini, dapat dipastikan hal itu akan semakin memperparah kondisi yang ada. Untuk itu diperlukan suatu jembatan guna mengikis sikap apatis masyarakat yang dapat menciptakan iklim politik yang lebih segar. Sehingga diharapkan peran serta masyarakat tergugah kembali.

Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 menjadi tonggak sejarah runtuhnya rezim orde baru yang telah berkuasa selama lebih dari 32 tahun. Di mana-mana orang meneriakkan kebebasan, meski kemudian kebebasan yang terjadi bukanlah kebebasan yang bertanggungjawab. Namun justru, kondisi bangsa semakin runyam dan krisis semakin melebar. Hal itu diperparah dengan munculnya orang-orang yang vokal dan sok pinter, ditambah lagi dengan mahasiswa atau masyarakat yang asal mendemo pemerintah. Dunia politik yang sempat digandrungi masyarakat mendadak menjadi mimpi buruk, ketika keadaan yang terjadi di dunia politik memaksa pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat.

Euphoria kebebasan di atas ternyata juga berimbas pada para seniman kita, termasuk seniman-seniman humor. Bisa kita lihat bagaimana Bagito[4] , Butet dengan monolognya, dan juga para pelawak lain mengkritisi pemerintah dengan materi-materi lawakannya. Lagi-lagi televisi yang melihat hal itu langsung menempatkan para pelawak-pelawak itu dalam program-program acaranya, mengingat respon dari masyarakat yang cukup besar. Humor seakan menjadi jawaban bagi kebuntuan masyarakat untuk meneropong dunia perpolitikan kita. Humor mampu menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat dengan bahasa yang lebih segar dan mudah dipahami. Selain bisa mendidik masyarakat secara terselubung, humor tentu saja merupakan hiburan yang dibutuhkan masyarakat untuk sekedar membuang kepenatan akibat krisis multidimensi yang melanda negara kita.

Apa yang tampak dalam karya humor, lelucon maupun wajah perlawakan kita, adalah representasi dari situasi yang terjadi di pemerintahan, birokrasi, maupun kemasyarakatan kita (Darminto MS, 2004:50). Ini menarik, mengingat selama ini humor hanya dianggap sebagai bahan tertawaan semata oleh masyarakat. Mereka –masyarakat kita- tidak sepenuhnya salah. Dalam menyuguhkan materi lawakan, seringkali pelawak kita terjebak pada keinginan ‘semu’ masyarakat. Seringkali kita terjebak dalam fungsi eksternal dari lawak. Lawak merupakan karya seni, dan seperti halnya bentuk seni yang lain, lawak juga memiliki makna. Artinya, dibalik kerudung tawa yang disajikan ada makna terselip dalam setiap lontarannya. Hal ini yang akhirnya mengklasifikasikan materi humor menjadi berkelas atau tidak. Berkelas dalam arti materi lawakan yang ditampilkan sarat akan nilai humor yang menawarkan makna tertentu. Sedangkan materi lawakan yang tidak berkelas –rendah- adalah materi lawakan yang hanya menyuguhkan tawa saja, tanpa peduli dengan esensi dari kata seni itu sendiri. Tentu saja hal tersebut tidak sepenuhnya salah, tergantung dari sudut apa kita memandangnya. Lucu itu relatif, karena bagaimanapun juga humor adalah bagian dari budaya (Suhadi, 1989:42). Lucu sangat tergantung dari lingkungan masyarakat di mana kelucuan itu muncul. Lucu menurut nelayan belum tentu lucu menurut pejabat, lucu di Madura belum tentu lucu di daerah Sunda, begitu seterusnya. Jadi lucu itu sangat relatif, tergantung dari lingkungan, tingkat pendidikan, profesi, dan lain-lain.

Melihat perkembangan humor saat ini memang sangat menggembirakan. Komedi atau humor menjadi anak emas dalam industri media terutama televisi. Hal itu terjadi karena acara-acara humor berhasil mendulang rating dan share penonton dengan sangat baik. Kejadian itu memacu pihak televisi untuk terus berkreasi menciptakan dan atau memunculkan ragam komedi yang baru. Bisa kita lihat dari tahun 1998 sampai saat ini telah banyak ragam komedi yang muncul di televisi kita. Sebut saja Tonil Bagito, Ngelaba, Toples, Kethoprak humor, ludruk glamour, ludruk hoki, Chating, sampai pada kemunculan ragam-ragam baru seperti Bajaj Bajuri, Nah ini Dia, Extravaganza, Comedy Club dan yang paling menarik adalah munculnya acara reality show untuk mencari bakat pelawak-pelawak muda, yaitu TPI dengan Audisi Pelawak TPI (API)Meteor Kampus di ANTV[5]. –nya yang kemudian disusul dengan

Fenomena Bajaj Bajuri membawa dampak positif dalam perkembangan dunia komedi di Indonesia. Tayangan ini menjadi inspirator munculnya acara-acara bergenre komedi situasi berikutnya. Selain itu, masyarakat juga dikejutkan dengan munculnya komedi seks: Nah ini Dia. Meski menuai kritik, ragam-ragam baru yang muncul perlu kita hargai sebagai sebuah warna dalam dunia komedi kita. Namanya juga TV, jika diartikan menurut kamus humor, “TV = Terobsesi oleh Verempuan atau Terobsesi oleh Vantat”. Jadi wajar jika perempuan (lengkap dengan pantatnya) tak henti-hentinya dijadikan objek eksploitasi oleh industri televisi.

Menjamurnya genre humor di Indonesia memang membuat banyak orang tertegun. Dari sekian banyak genre komedi yang ada, salah satu yang menarik untuk diamati adalah perkembangan humor politik yang sepertinya berkembang dengan sangat baik. Hal ini terkait dengan perkembangan dunia politik di Indonesia yang mengalami restrukturisasi gila-gilaan semenjak diletakkannya nilai-nilai reformasi. Euphoria kebebasan membuat sekat-sekat yang selama ini membelenggu seniman-seniman humor dalam berkreasi lenyap. Kini para pelawak dapat berkreasi dengan lebih optimal dalam mengeksplor bahan-bahan lawakan terutama yang menyangkut masalah politik dan pemerintah.

Kehadiran televisi semakin membuka peluang bagi berkembangnya humor politik di Indonesia. Apalagi saat ini, menjamurnya televisi swasta di Indonesia menjadi lahan yang sangat subur bagi berkembangnya humor politik. Melalui media televisi, humor diharapkan dapat mendewasakan masyarakat lewat nilai yang disisipkan dalam setiap lawakan. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Suhadi (1989:58) yang mengatakan bahwa semakin berkembangnuya humor, menunjukkan masyarakatnya semakin dewasa. Jadi dapat dikatakan jika humor berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat kita. Bergitupun sebaliknya, semakin dewasa masyarakat kita, semakin berkembang pula seni komedi di negara kita. Hal itu juga bisa dikaitkan dengan hal lain yang juga turut mempengaruhi perkembangan suatu masyarakat, yaitu kondisi sosial, politik dan budaya. Artinya semakin mantap kondisi sosial politik kita, semakin berkembang pula ragam komedinya, begitu seterusnya. Dengan kata lain, semakin dewasa masyarakat kita dalam menyikapi permasalahan politik maka secara otomatis permintaan terhadap humor politik juga akan semakin tinggi.

Republik BBM muncul di tengah kebuntuan, setelah sekian lama tidak ada acara yang benar-benar bergenre humor politik. Acara ini menjadi titik awal bangkitnya humor politik di Indonesia. Respon masyarakat terhadap acara ini cukup positif, meskipun tidak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang merasa terganggu dengan hadirnya acara ini. Setidaknya kini kita mempunyai acara yang dapat menunjukkan tingkat kedewasaan masyarakat dalam menerima kritik. Kedewasaan yang semakin melengkapi prasyarat sebagai negara demokrasi.



[1] Arwah Setiawan (almarhum) adalah pendiri Lembaga Humor Indonesia (LHI), sekaligus tokoh yang konsisten pada pendirian bahwa humor adalah serius. Dia juga telah menulis banyak artikel dan buku tentang humor. Lihat dalam Anwari (1999:15).

[2] Reformasi 1998 yang ditandai dengan runtuhnya rezim orde baru menjadi titik tolak dimulainya era kebebasan di Indonesia, setelah sebelumnya terbelenggu selama 32 tahun. Reformasi berarti menata ulang atau menata kembali sistem yang ada dalam negara ini.

[3] Penyebutan pelawak atau komedian seringnya dilakukan oleh pelawak/komedian itu sendiri. Seperti Jaya Suprana yang menyebut dirinya sebagai humorolog.

[4] Bagito adalah grup lawak yang memilih genre lawakan kritis sebagai pijakan dalam menghasilkan karya-karyanya. Grup ini terdiri dari tiga personil, yaitu Miing (Tubagus Dedi Suwandi, Didin (Tubagus Didin Zaenal Abidin) dan Unang (Hadi Prabowo Suwardi). Dalam perjalanan karirnya Unang salah satu personil keluar dari grup lawak ini.

[5] Dunia lawak Indonesia dikagetkan dengan acara kontes penjaringan bakat pelawak di televisi. Didahului dengan Audisi Pelawak TPI (API)API 1API 2, dan saat ini telah berlangsung API 3. Sementara itu ANTV juga meluncurkan ajang yang sama dengan Meteor Kampus. Penambahan unsur kampus diharapkan mampu melahirkan generasi pelawak yang lebih cerdas. Ajang ini juga telah melahirkan banyak alumnus. yang sampai saat ini telah melahirkan alumnus-alumnusnya dari sampai

Tidak ada komentar: